MALANG, iNewsMalang.id - Tidak semua individu ikut serta dalam gerakan pembersihan Komunis pada tahun 1965. Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam, mengambil pendekatan yang berbeda dengan tidak terlibat dalam pengejaran Komunis sampai ke akar alias anak cindilnya. Saat itu, beberapa anggota Muhammadiyah bahkan menjadi korban kekejaman Komunis, mengalami penyiksaan bahkan kematian. Ini adalah latar belakang mengapa sikap Muhammadiyah dianggap terlalu lembut ketika pemerintah menggalakkan pemberantasan komunis.
Namun, ada alasan yang lebih mendalam di balik pendekatan ini. Di bawah kepemimpinan AR Fachrudin (Pak AR), Muhammadiyah melihat bahwa banyak pengikut dan pendukung PKI sebenarnya memiliki potensi untuk bertaubat, terutama karena banyak di antara mereka adalah Muslim. Selain itu, beberapa warga hanya ditangkap dan dihukum atas dasar prasangka tanpa bukti keterlibatan langsung dengan PKI.
Karena alasan tersebut, tidak mengherankan jika Pak AR dan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya memilih untuk berdialog dengan anggota dan pendukung PKI, dengan tujuan untuk memperkenalkan mereka pada ajaran Islam yang damai dan penuh kedamaian. Konsekuensinya, ada tuduhan yang muncul bahwa beberapa tokoh Muhammadiyah berupaya melindungi anggota PKI.
Beberapa pihak berpendapat bahwa mengejar, menangkap, dan membunuh anggota PKI adalah bagian dari jihad fi sabilillah (perjuangan dalam jalan Allah). Namun, pandangan ini tidak dipegang oleh Pak AR. Bagi beliau, peristiwa huru-hara tahun 1965 harus dihadapi dengan bijaksana dan hati-hati, bukan dengan tindakan gegabah atau sewenang-wenang. Demikian dilansir dari suaraaisyiah.id, media milik organisasi perempuan Muhammadiyah dikutip Minggu (1/10/2023).
Dengan alasan tersebut, tidak heran jika Pak AR bersama tokoh Muhammadiyah yang lain lebih memilih menemui tokoh dan simpatisan PKI lalu mengenalkan mereka pada ajaran Islam yang damai dan sejuk. Sebagai konsekuensi dari pilihan ini, “muncul tuduhan jika ada tokoh Muhammadiyah yang berusaha melindungi orang-orang komunis” (Musyafa, 2020: 284).
Ada yang berpandangan, memburu, menangkap, dan membunuh orang-orang komunis adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Pemaknaan jihad inilah yang tidak disetujui Pak AR. Baginya, huru-hara 1965 tidak boleh disikapi dengan gegabah dan serampangan, tapi harus hati-hati.
Lembut tapi Tegas
Tuduhan bahwa Muhammadiyah bersikap lunak terhadap orang-orang komunis tentu tidak tepat. Muhammadiyah sejatinya hanya menginginkan agar mereka kembali ke jalan yang benar, dan kalaupun mereka terbukti salah, hukum harus ditegakkan secara adil. Jangan sampai hanya atas dasar prasangka dan curiga, banyak warga tak bersalah menjadi korban.
“AR sangat berhati-hati karena dia tidak ingin salah dalam mengambil keputusan, sehingga justru membawa kerugian pada masyarakat yang tidak bersalah” (Musyafa, 2020: 286).
Selain bersikap hati-hati, Pak AR juga bersikap tegas sebagai Ketua Umum (Ketum) PP Muhammadiyah. Dakwah kepada orang-orang komunis memang tidak mudah. Sebagian memang ada yang menerima ajakan kepada Islam, tetapi sebagian yang lain memilih sikap penolakan. Kepada mereka yang menolak ajakan kembali ke jalan kebenaran itu, Muhammadiyah akan melakukan pengawasan. Tujuannya adalah ketika ada tindakan mencurigakan, mereka bisa segera dilaporkan.
Lima Bentuk Jihad
Pak AR tidak memaknai jihad hanya sebatas pada perang. Menurut Musyafa, ada lima bentuk jihad dalam pandangan Pak AR. Pertama, melawan hawa nafsu. Jihad dalam makna ini punya kedudukan tinggi dan utama di dalam ajaran Islam. Kedua, menjaga keluarga agar terhindar dari goyahnya iman dan Islam. Dalam hal ini, suami, istri, dan anak punya peran masing-masing.
Ketiga, melawan kemaksiatan di masyarakat. Caranya adalah dengan melakukan peringatan dan penyadaran terhadap orang-orang yang mengganggu ketertiban lingkungan sekitar. Keempat, melawan penguasa dzalim. Kepada penguasa yang bertindak sewenang-wenang, meski sulit, nasihat tetap perlu disampaikan. Menurut Pak AR, umat Islam berkewajiban mendorong seorang pemimpin berlaku baik dan bertindak adil.
Kelima, jihad fisik. Menurut Pak AR, terbebasnya bangsa Indonesia dari penjajahan menandai berakhirnya jihad dalam makna fisik. Apalagi bangsa Indonesia sudah punya kesadaran untuk menghormati dan menghargai satu sama lain.“Maka, dalam suasana seperti ini, jihad yang harus dilakukan adalah menyumbangkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik,” (Musyafa, 2020: 288).
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait