Beberapa bulan terakhir ini, minyak goreng dalam kemasan benar-benar langka di Indonesia. Hal ini tentu saja menyusahkan para konsumen minyak goreng dalam kemasan yang sudah bergantung pada produk ini.
Langkah-langkah diambil oleh pemerintah. Salahsatu yang cukup ekstrem adalah dengan mengambil keputusan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng hanya berlaku untuk minyak goreng curah saja. Sedangkan untuk minyak goreng dalam kemasan diberlakukan mekanisme pasar.
Dan simsalabim, setelah keputusan pemerintah itu diambil, tiba-tiba minyak goreng dalam kemasan ketersediannya melimpah di pasaran. Namun yang terjadi, masyarakat konsumen tercekik dengan harga minyak goreng kemasan yang dua kali lipat dari harga lama. Jika konsumen ingin yang murah, maka dipersilahkan membeli minyak goreng curah di pasar-pasar tradisional
Sontak, kebijakan itu menimbulkan reaksi dari beragam kalangan. Keputusan pemerintah menyerahkan harga ke pasar dianggap sebagai tanda kekalahan dan kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya.
Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel dalam pernyataan resminya mengatakan, simbol kekalahan tersebut bisa dilihat dari pernyataan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi yang mengakui tak bisa melawan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan.
Sebagai catatan, harga minyak goreng melambung sejak Desember 2021. Pemerintah lantas menetapkan HET untuk minyak goreng kemasan Rp14.000 per liter dan Rp11.500 per liter untuk minyak goreng curah. Untuk itu, pemerintah menyiapkan subsidi agar harga minyak goreng tetap terjangkau masyarakat.
Namun, yang terjadi kemudian adalah kelangkaan minyak goreng. Masyarakat harus berebut untuk mendapatkan minyak goreng bersubsidi yang dijual melalui minimarket dan supermarket. Di beberapa tempat, masyarakat harus antre berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng subsidi melalui operasi pasar.
Saat harga dikendalikan, minyak goreng kemasan seolah hilang dari pasaran. Namun, secara "ajaib" minyak goreng kembali berlimpah saat ketentuan HET dicabut pemerintah.
Menilai perkembangan tersebut, Rachmat Gobel menilai pemerintah sudah kalah. "Kondisi ini menunjukkan negara kalah dan didikte oleh situasi," cetusnya, Jumat (18/3/2022).
Mantan menteri perdagangan itu menyatakan, Indonesia adalah negara penghasil CPO dan minyak goreng terbesar di dunia, sehingga seharusnya tidak ada masalah dengan produksi. Hal yang jadi masalah adalah meningkatnya permintaan dunia sehingga harga naik. Dengan kenaikan tersebut, kata Gobel, para pengusaha lebih memilih menjual produksinya ke luar negeri dengan harga lebih mahal daripada menjual ke dalam negeri dengan harga yang diatur pemerintah.
"Ini yang menjadi penyebab kelangkaan. Jadi bukan ditimbun ibu-ibu seperti pernyataan pejabat Kemendag yang asbun itu. Terbukti setelah batasan harga dihapus, minyak goreng berlimpah lagi," tandasnya.
Sebelum ada gejolak harga, minyak goreng kemasan di tingkat konsumen dijual di harga sekitar Rp9.000 per liter. Kini, harganya berkisar Rp22.000-24.000 per liter. Politisi Partai Nasdem ini menilai produsen mengambil untung berlebihan.
Gobel menegaskan, produsen harusnya diajak untuk bertanggung jawab terhadap ketersediaan barang di pasar dan juga dalam menentukan harga. Dia juga mengingatkan bahwa minyak goreng termasuk ke dalam barang strategis, bukan seperti barang-barang kebutuhan sekunder maupun tersier seperti kendaraan dan elektronika.
"Industri pangan bahan pokok bukan sekadar dilihat dari sisi investasi tapi bagian dari partisipasi dalam pembangunan. Jadi harga bahan pokok, termasuk minyak goreng, jangan dilepas ke pasar," tegasnya.
Hal senada dikatakan Bhima Yudhistira, Direktur Celios. "Negara terbukti kalah, yang menang adalah konglomerat sawit. Gelontoran subsidi minyak goreng selama ini juga percuma. Hanya empat perusahaan besar yang kuasai lebih dari 40% pasar, dan pemerintah menyerah menghadapi empat perusahaan tadi. Padahal HGU sawit kan lahan pemerintah juga, tapi pemerintah tidak berdaya, sangat disayangkan," katanya, Kamis (17/3/2022).
Menurut Bhima, kekalahan oleh penimbun begitu telak terpampang. "Kelangkaan menunjukkan selama ini pasokan ditahan (ditimbun) distributor. Karena tak mungkin satu hari pasca-pengumuma HET dicabut, barang sudah sampai di toko," tegas Bhima.
Menurut Bhima, sebelum pemerintah mengibarkan bendera putih dengan mencabut HET, seharusnya mengecek dulu jalur distribusi minyak goreng. "Kalau KPK saja bisa mendeteksi aliran uang suap, kenapa negara, yang notabene KPK masuk di dalamnya, tak mampu menemukan sumpalan-sumpalan distribusi minyak goreng," sesalnya.
Bhima menambahkan, di saat perusahaan sawit menenggak untung, kenaikan harga minyak goreng harus ditanggung oleh pemerintah dan rakyat. Pemerintah harus menyubsidi minyak goreng dan rakyat harus merogoh kocek lebih dalam untuk membelinya. ( iNews Malang)
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait