Perbedaan dan perdebatan mengenai penentuan hari-hari khusus dalam Islam seringkali mewarnai jagat raya intelektual dan sosial Islam. Hampir dalam setiap tahunnya terdapat perbedaan dalam menentukan kiranya mana yang lebih kuat dan utama diantara dua metodologi penentuan hari khusus, seperti saat ini misalnya, penentuan satu Ramadhan.
Di Indonesia sendiri setidaknya terdapat dua lembaga besar yang cukup berpengaruh dalam menentukan satu Ramadhan, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Keduanya menggunakan metodologi yang berbeda dalam prosesnya. Nahdlatul Ulama menggunakan metode pengamatan (rukyat) dan Muhammadiyah menggunakan metode perhitungan (hisab). Lantas pertanyaannya adalah, mana yang lebih utama?
Nahdlatul Ulama menggunakan metode pengamatan dengan dalil argumen berupa hadits nabi :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.”
Argumen yang disampaikan adalah, kata “ru’yah” itu secara bahasa bermakna melihat dengan mata kepala, sedangkan jika melihat dengan ilmu atau pikiran maka bahasa yang digunakan adalah “ra’yun”. Maka dengan dasaran inilah kemudian, penentuan bulan itu dilakukan melalui proses pengamatan (rukyat).
Muhammadiyah sendiri menggunakan metode perhitungan juga menggunakan landasan argumen yang tidak kalah kuat yaitu surat Ar-Rahman ayat 5 sebagaimana tertulis berikut :
اَلشَّمۡسُ وَالۡقَمَرُ بِحُسۡبَانٍ
“Matahari dan bulan (beredar sebagaimana yang terlihat) menurut perhitungan”
Argumen yang disampaikan adalah, ketika matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti, maka konsekuensi logisnya adalah, dapat diprediksi atau dihitung (hisab).
Lantas diantara dua argumen tersebut, manakah yang lebih kuat dan utama? Sebagaimana dalam pepatah berbahasa Arab dikatakan :
الإنسان محل الخطأ والنسيان
“manusia itu adalah tempatnya salah dan lupa.”
Maka secanggih apapun peralatan dan rumus, kesalahan di dalam perhitungan tentu saja sangat mungkin bisa terjadi. Walaupun begitu tidak di nafikkan bahwasannya perhitungan juga sangat bermanfaat karena berangkat dari sanalah kita bisa mengakses kalender saat ini. (baik Masehi maupun Hijriyah)
Karena dalam hal ini menggunakan konteks penentuan awal Ramadhan, maka kesalahan dalam perhitungan juga harus diminimalisir semaksimal mungkin. Disinilah peran sinergitas antara hisab dan rukyat ditemukan. Hisab (perhitungan) sebagai langkah untuk mempermudah penanggalan dan rukyat (pengamatan) sebagai langkah untuk validasi data dan meminimalisir kesalahan didalam perhitungan.
Tabik.
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait