Jatuh karena Uang dan Dibuang, Begini Kisah Sentot Sang Panglima Perang Muda Diponegoro 

Anicolha
Inilah Makam Sentot, Sang Panglima Perang Muda Diponegoro di Kota Bengkulu (Foto: Istimewa)

iNewsMalang.id - Pangeran Diponegoro adalah pahlawan yang gigih melawan dan menentang Belanda. Dalam melakukan perlawanan, Diponegoro memiliki taktik bergerilya hal itu pula yang diturunkan kepada para pengikutnya. Salah satu pengikutnya yang dikenal mewarisi kepandaian Pangeran Diponegoro dalam taktik gerilya hingga ditakuti lawan-lawannya adalah Sentot Ali Basyah, seorang pemuda yang memiliki semangat juang melawan penjajah Belanda.

Saat bergabung dengan pasukan Diponegoro, Sentot masih berusia sangat mudaKarena keberanian dan kepandaiannya dia pun diangkat sebagai panglima perang Diponegoro pada tahun 1828. Selain karena keberaniannya, pengangkatan sebagai panglima perang karena usulan dari panglima perang Dipenogor Gusti Basyah, yang gugur di medan perang.

Sebelum wafat, ia berpesan pada Pangeran Diponegoro agar yang menggantikannya adalah Sentot. Pangeran Diponegoro menyetujui usulan itu. Setelah diangkat menjadi panglima perang oleh Pangeran Diponegoro kemudian menjadi Sentot Alibasyah Prawirodirjo. Sentot memiliki pasukan khusus gerilya berkuda sejumlah 1.000 orang yang semuanya bersorban.

Pasukan Sentot tak ada yang infanteri. Semua kavaleri berkuda dengan keutamaan serangan kilat, cepat, dan mematikan. Panglima militer muda yang jenius dan ditakuti lawan-lawannya ini terlibat dalam Perang Padri (1821 – 1837). Dalam buku berjudul “De-Java-oorlog van 1825-1830” yang ditulis E.S de Klerck dia menceritakan, tak lama setelah diangkat jadi panglima perang, Sentot Ali Basyah langsung menunjukkan kemampuannya.

Pada 5 September 1828, dia dikirim ke Progo Timur dan berhasil memukul mundur tentara Belanda di bawah pimpinan Sollewijn. Beberapa minggu kemudian, dia juga berhasil mengatasi perlawanan Belanda di wilayah Banyumas dan Bagelen. Saat peperangan Sentot seringkali menggunakan penggerebekan sebagai taktik perang.

Kepandaiannya dalam perang gerilya membuat Sentot tak hanya dihormati oleh pasukannya melainkan juga oleh pasukan Belanda. Ia diakui sebagai musuh yang tangguh. “Oleh karena ia sangat pandai dalam peperangan guerilla, berani, dan gilang-gemilang dalam peperangan, ia mendapat nama yang harum dan dihormati oleh kawan dan lawan,” tulis H.P. Aukus dalam Het legioen van Mangkoe Nagoro, seperti dikutip Soekanto.

Sebagai panglima perang, Sentot memang tak diragukan lagi. Namun, sayang dia jatuh di depan Pangerang Diponegoro karena urusan uang pajak. Pada Desember 1828, Sentot meminta kepada Diponegoro untuk memimpin seluruh kekuatan pasukannya. Namun tak hanya itu, ia juga meminta untuk mengurusi penarikan pajak secara langsung demi keperluan prajuritnya.

Permintaan Sentot ini membuat Diponegoro khawatir karena ia merasa perlu menjamin kebijakan pajak ringan serta tersedianya sandang dan pangan yang murah. “Ia khawatir jika Sentot –yang terkenal dengan gaya hidupnya yang boros– diperbolehkan menggabungkan wewenang pemerintahan dan militer, karena rakyat biasa akan tertindas dan dukungan mereka terhadap perang sucinya akan sirna,” tulis Peter Carey. Diponegoro juga menuliskan keprihatinannya dalam Babad Diponegoro. “Jika ia yang memegang pedang, juga diperbolehkan menggenggam uang, lantas bagaimana? Tidakkah itu membuat terbengkalai?” tulis Diponegoro.

Dengan berat hati, Diponegoro akhirnya setuju. Sentot mendapat dua pertiga bagian uang pajak cukai pasar di Kulon Progo dan Bagelen timur. Namun tak lama kemudian, kekhawatiran Diponegoro benar terjadi. Satu kekalahan besar terjadi pada 8 Januari 1829. Kala itu Belanda telah membangun benteng yang baru dan besar di daerah Nanggulan.

Namun, Sentot tidak bereaksi cepat karena sibuk dengan urusan keuangan. Ketika Sentot memerintahkan penyerangan, benteng Belanda sudah telanjur kuat. Pasukan Sentot harus menelan kekalahan. Persoalan pajak juga kemudian berimbas pada ikatan baik antara Diponegoro dengan rakyat. Tanpa kepercayaan rakyat, gerilya Diponegoro tak akan berhasil. Pada September 1829, perlawanan terorganisasi di Jawa Tengah selatan berakhir.

Sentot akhirnya menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829. Penyerahannya menimbulkan kontroversi. Ia disebut mengambil keuntungan pribadi dari penyerahan itu. Alasan lain menyebut ia sebenarnya masih ingin meneruskan perang. Namun karena kondisi perekonomian rakyat yang semakin memburuk karena perang tak kunjung usai, Sentot memilih menyerah.

Di bawah perintah Belanda, Sentot sempat bertugas di Salatiga, Batavia, dan Karawang. Pada 1832, ia dikirim ke Padang untuk membendung pemberontakan para ulama di sana pimpinan Imam Bonjol. Namun, bukannya meredam pemberontakan, pihak Belanda curiga bahwa Sentot memiliki hubungan dengan para pemberontak. Dia kemudian ditahan oleh Belanda dan kembali ke Batavia pada Maret 1833. Dari Batavia, pada Agustus 1833 Sentot dikirim ke Bengkulu untuk menjalani masa pembuangan.

Sebelum menjalani masa hukumannya di tahun 1833, Sentot diizinkan untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dalam pembuangannya, ia banyak mengajarkan ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah agama Islam kepada masyarakat Bengkulu. Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo meninggal dunia di pembuangan pada 17 April 1855 dalam usia 48 tahun. Makam Sentot Alibasyah Abdullah Mustofa Prawirodirjo yang terletak di Jalan Sentot Alibasyah, Kelurahan Bajak, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu kini telah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya Indonesia. (Sumber: Wikipedia/diolah berbagai sumber). iNews Malang

 

Editor : Arif Handono

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network