PERNIKAHAN adalah salah satu hukum yang diatur semasa Kerajaan Majapahit. Ketatnya aturan hukum mengenai pernikahan tercermin dalam hukuman yang diterima sang calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan.
Bab hukum mengenai pengaturan pernikahan sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua di Kerajaan Majapahit. Aturan itu tertera dalam kitab Kakawin Negarakertagama, dimana ada dua bab yang menjelaskan khusus mengenai mahar atau bab tukon pada pasal 167, 171, dan 173.
Kemudian pada bab Perkawinan pada Pasal 180, 181, dan 182 yang terdapat di Kakawin Negarakertagama. Hal ini sebagaimana dikutip dari buku "Tafsir Sejarah Nagarakertagama" dari karangan Prof. Slamet Muljana.
Dimana pada bab tukon atau mahar dijelaskan seorang gadis telah menerima barang yang dimaksud sebagai tukon atau mahar, kemudian kawin dengan laki-laki lain, karena menaruh cinta kepada laki-laki itu, sementara sang orang tua gadis tersebut tinggal diam, bahkan malah merestui pernikahannya. Maka perbuatan itu disebut mengawinkan gadis larangan.
Segala tukon pelamar pertama harus dikembalikan lipat dua. Sedangkan bapak si gadis itu dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Hal ini disebut amadal tukon, atau membatalkan tukon. Suami istri yang menikah, masing-masing dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa, sebagaimana diatur pada Pasal 167.
Sementara di kasus lain jika ada seorang pemuda yang memberikan peningset atau pengikat kepada seorang gadis, dengan diketahui oleh orang banyak dan setelah lima bulan lamanya pernikahan belum dilangsungkan, maka pemuda itu tidak mempunyai hak atas pengikat itu.
Gadis yang demikian oleh orang banyak disebut wulanjar atau janda yang belum kawin dan belum beranak. Maka ayah gadis itu berhak mengawinkannya kepada orang lain lagi. Hal ini tertera pada Pasal 171 aturan hukum Kerajaan Majapahit.
Jika orang tua gadis telah menerima tukon dari pelamar sebagai tanda, bahwa gadisnya telah laku dan telah menyetujui waktu berlangsungnya perkawinan, sedangkan jejaka patuh menepati janji orang tua gadis, namun berdasarkan Pasal 173 ketika sampai pada janjinya gadis tersebut dikawinkan dengan orang lain oleh bapak gadis itu dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa.
Bab perkawinan pun diatur bagaimana seorang istri yang enggan kepada suaminya karena ia tidak suka kepadanya, uang tukon atau mahar harus dikembalikan dua kali lipatnya. Perbuatan itu disebut amadal senggama atau membatalkan percampuran sebagaimana diatur pada Pasal 180.
Jika perempuan tidak suka kepada suaminya, supaya suami menunggu setahun. Jika setelah setahun masih tetap tidak suka kepadanya, supaya perempuan itu mengembalikan tukon dua kali lipat. Peristiwa itu disebut amancal turon atau enggan tidur bersama sebagaimana diatur pada Pasal 181.
Jika perkawinan suami istri ingin mencampur harta milik yang dibawanya masing-masing, ketika kawin, percampuran itu tidak dibenarkan sebelum lima tahun. Setelah kawin lima tahun barulah diizinkan pencampuran harta milik suami istri. Percampuran harta milik itu baru sah menurut Pasal 182. iNews Malang
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait