Utang Puasa saat Sakit atau Bepergian, Perhatikan Tata Cara Membayarnya

Iqbal Widiarko
Membayar utang puasa ramadhan bagi umat Islam hukumnya wajib (Foto: celebrities.id)

JAKARTA, iNewsMalang.id - Umat Muslim harus mengetahui cara membayar utang puasa saat sakit atau bepergian karena hukumnya wajib.Orang yang terpaksa tidak berpuasa pada bulan Ramadhan biasanya karena berbagai alasan, mulai dari sakit, bepergian jauh atau datang bulan untuk perempuan. Jumlah puasa yang ditinggalkan ini wajib diganti pada hari lain.

Orang muslim yang memiliki utang puasa hingga bertahun-tahun, tentu akan mendapat beban tambahan. Di samping harus mengqadha puasa, mereka juga diwajibkan untuk membayar fidyah. Untungnya, agama Islam merupakan agama yang manusiawi dan selalu mementingkan keadaan manusia. Tidak ada amalan yang memberatkan umat islam, dan selalu ada kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT.

Sebagaimana firman Allah SWT:

“Allah Tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Jadi semua amalan yang diwajibkan kepada umat islam adalah amalan yang sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga berlaku dalam hukum puasa saat sakit. Amalan yang dilakukan bukanlah untuk memberatkan manusia, tapi tetap memudahkan.

 Dilansir dari berbagai sumber, celebrities.id, Rabu (11/5/2022) telah merangkum cara membayar utang puasa saat sakit atau bepergian, sebagai berikut.

Cara Membayar Utang Puasa saat Sakit atau Bepergian

1. Tidak Berpuasa karena Sakit

Orang yang sakit dan khawatir pada keadaan dirinya boleh meninggalkan ibadah puasa. Sebagai gantinya, ia wajib melakukan qadha puasa di luar bulan Ramadhan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

“Tidak boleh memberikan mudarat kepada diri sendiri dan kepada orang lain,”
(H.R. Daruquthni).

Orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh dan ia tidak sanggup berpuasa, tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadhan. Sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah. Seperti orang tua renta, batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya mengalami kepayahan jika ia berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab tayamum.

Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ada’ (dalam bulan Ramadhan) maupun qadha’ (di luar Ramadhan). Berbeda dengan orang sakit yang masih diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari.(Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib, juz 2, hal. 397).

Contoh sederhana orang sakit atau orang yang melakukan perjalanan. Dikategorikan mereka termasuk orang yang tidak sanggup untuk melakukan ibadah puasa. Seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 185).

Keringanan yang Allah SWT berikan kepada orang yang tidak sanggup untuk melakukan ibadah puasa dengan alasan sakit dan shafar (melakukan perjalanan). Diperbolehkannya berbuka pada hari itu, kemudian kewajiban baginya untuk mengganti puasa di waktu yang lain. Mengganti puasa di hari lain setelah bulan Ramadhan wajib hukumnya bagi orang orang yang membatalkan puasa karena hal-hal yang dibolehkan seperti disebutkan sebelumnya.

Setelah sembuh dari penyakitnya, maka orang tersebut wajib menggantinya. Sedangkan orang yang penyakitnya tidak dapat diharapkan kesembuhannya lagi atau orang yang sudah berumur, cukup membayar fidyah, atau memberi makan kepada seorang fakir miskin selama bulan puasa. Fidyah ini berupa makan pokok sebanyak kurang lebih 1,5 kg beras.

Pembayaran fidyah ini boleh dilakukan di akhir bulan Ramadhan kepada beberapa orang miskin, dan boleh pula diberikan kepada satu orang miskin setiap hari. Pemberian fidyah ini bisa diwakilkan kepada seseorang atau lembaga yang terpercaya.

Namun orang yang sakit dan menunggu kesembuhannya dari penyakit yang masih bisa diharapkan sembuh, tetapi orang tersebut meninggal dunia, maka ia tidak diwajibkan mengganti atau membayar fidyah, begitu pula dengan wali atau ahli warisnya.

Hal yang terpenting dari hukum puasa saat sakit adalah keselamatan dan kesehatan diri seorang manusia. Jika seseorang sudah tak berdaya menahan lapar dan haus dan dikhawatirkan bisa membahayakan dirinya dan indranya, maka boleh berbuka dengan kewajiban mengganti puasa tersebut di hari lain setelah bulan Ramadhan.

2. Tidak Berpuasa karena Perjalanan atau Bepergian

Mereka yang dalam perjalanan juga boleh mengambil keringanan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Merujuk buku Fiqih Praktis (2008) karya Muhammad Bagir, seorang musafir mendapatkan rukhsah tidak berpuasa, jika menempuh perjalanan dengan jarak minimal 80,6 kilometer.

Jika seseorang sudah menempuh jarak sepanjang 80,6 kilometer, maka ia boleh tidak berpuasa. Sebagai gantinya, ia wajib mengganti dengan qadha puasa di luar Ramadhan sebanyak hari yang ditinggalkan. Setiap muslim yang sedang melakukan perjalanan jauh saat bulan Ramadhan, dibolehkan untuk tidak berpuasa jika kondisinya berat dan menyulitkan.

Walau begitu, orang tersebut harus mengganti puasanya di kemudian hari. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Muslim, yang artinya:
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, "Siapa ini?" Orang-orang pun mengatakan, "Ini adalah orang yang sedang berpuasa." Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar."

Tata Cara Membayar Utang Puasa

1. Dengan Puasa Qadha

Bacaan niat puasa qadha dibaca pada malam sebelumnya dengan lafal sebagai berikut:

تَعَالَى ِللهِ رَمَضَانً فَرْضَ قَضَاءٍ عَنْ غَدٍ صَوْمَ نَوَيْتُ

Latin: Nawaitu shauma ghodin an qadha'i fardho romadhona lillahi ta’ala
Artinya: Aku niat puasa esok hari karena mengganti fardhu Ramadhan karena Allah ta'ala.

2. Dengan Membayar Fidyah

Fidyah merupakan ibadah yang berkaitan dengan harta, sehingga disyaratkan niat dalam pelaksanaannya seperti zakat dan kafarat. Kadar dan jenis fidyah yang ditunaikan adalah satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia adalah beras.

Ukuran mud jika dikonversikan ke dalam hitungan gram adalah 675 gram atau 6,75 ons. Hal ini berpijak pada hitungan yang masyhur, di antaranya disebutkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu. Sementara menurut hitungan Syekh Ali Jumah dalam kitab al-Makayil wa al-Mawazin al-Syar’iyyah, satu mud adalah 510 gram atau 5,10 ons.

Cara menunaikan fidyah dengan uang versi Hanafiyyah adalah nominal uang yang sebanding dengan harga kurma, anggur atau jewawut, seberat satu sha’ (3,8 kg atau 3,25 kg) untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya berlaku kelipatan puasa yang ditinggalkan. 

Bacaan niat dalam pelaksanaan fidyah:

Untuk orang sakit keras, orang tua renta atau sedang bepergian

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ لإِفْطَارِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

“Aku niat mengeluarkan fidyah ini karena berbuka puasa di bulan Ramadhan, fardhu karena Allah.”

Untuk yang terlambat mengqadha puasa Ramadhan

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan, fardhu karena Allah”. Niat fidyah boleh dilakukan saat menyerahkan kepada fakir/miskin, saat memberikan kepada wakil atau setelah memisahkan beras yang hendak ditunaikan sebagai fidyah. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam bab zakat. iNews Malang

 

 

 

 

Editor : Arif Handono

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network