Kontradiksi Gelar Pahlawan Soeharto dan Marsinah
PENULIS MAHASISWA JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYA
PRESIDEN kedua Republik Indonesia, Bapak HM Soeharto, merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah pembangunan bangsa Indonesia. Kepemimpinannya selama lebih dari tiga dekade telah meninggalkan jejak yang sangat kuat dalam berbagai sektor terkhususnya sektor ekonomi, politik, dan pertahanan nasional.
Pada masa awal pemerintahannya, Indonesia tengah menghadapi keterpurukan ekonomi akibat hyperinflation yang terjadi pada masa Orde Lama. Kemudian melalui kebijakannya Soeharto dapat mengembalikan kestabilan ekonomi nasional dengan menekan laju inflasi, sehingga dapat mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah kala itu.
Pemerintah saat itu begitu berambisi untuk membangun kembali Indonesia secara berkesinambungan, tujuan ini dicapai melalui pembentukan lembaga seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tak hanya itu, melalui kebijakan Repelita pembangunan nasional dapat menyebar ke berbagai sektor strategis, seperti pertanian, industri, pendidikan, dan infrastruktur.
Salah satu keberhasilan terbesar dari kebijakan ini adalah tercapainya swasembada pangan pada tahun 1984. Selain itu, kebijakan investasi asing yang diterapkan oleh pemerintahan Soeharto juga turut andil dalam membuka peluang untuk mempercepat industrialisasi Indonesia, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hingga mencapai rata-rata kenaikan 7% per tahun.
Dalam bidang sosial dan pembangunan daerah, Soeharto juga menggagas program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan SD Inpres, yang berfokus pada pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat di pelosok negeri.
Tak hanya berfokus pada pembangunan ekonomi dan sosial, Soeharto juga dikenal tegas dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI. Pemerintah Orde Baru berhasil menekan berbagai gerakan separatis di beberapa daerah seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur, meskipun dalam perjalanan yang ditempuh menuai pro dan kontra. Di sisi lain, stabilitas politik yang diciptakan pemerintah Orde Baru menjadi landasan kuat bagi pertumbuhan ekonomi dan ketertiban nasional.
Namun, keberhasilan kebijakan pada masa Orde baru juga diiringi dengan berbagai catatan kelam. Demi mengejar swasembada pangan, industrialisasi cepat, pertumbuhan ekspor, dan pemulihan ekonomi pasca-1965, pemerintah memilih jalur yang menekankan kontrol politik, pengawasan ketat, dan pembatasan ruang kritik rakyat. Sentralisasi kekuasaan membuat keputusan ekonomi, politik, dan keamanan berpindah ke satu orbit sehingga memungkinkan program pembangunan berjalan seragam dan cepat.
Namun, sentralisasi yang sama menciptakan ruang gelap tanpa kontrol sehingga memberi celah penyalahgunaan kekuasaan pada kala itu. Dengan kehadiran Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru, memungkinkan militer untuk hadir dalam menjaga ketahanan nasional serta mengatur birokrasi, dari pemerintahan daerah hingga lapisan masyarakat.
Hal tersebut memicu protes dari rakyat, namun alih-alih merespons dengan dialog sosial, pemerintah justru menjadikan ancaman sebagai penyelesaian untuk menjaga kestabilan nasional. Dalam iklim semacam ini, oposisi dan gerakan masyarakat mudah ditempatkan dalam bingkai “pengganggu stabilitas,” sebagai langkah pembatasan demi mempertahankan jalannya pembangunan.
Serangkaian kasus seperti Wasior dan Wamena merupakan bentuk nyata bahwa pola represif itu tidak hilang begitu saja, melainkan berlanjut di wilayah yang dianggap rentan oleh negara. Tak hanya kasus tersebut, sejarah juga sudah mencatat bahwa pada masa kepemimpinan Soeharto sarat pelanggaran hak asasi manusia, seperti peristiwa 1965–66, penembakan misterius, integrasi Timor Timur, serta kerusuhan Mei 1998.
Selain itu, sistem politik otoriter dan praktik korupsi yang meluas menjadi kritik utama terhadap warisan Orde Baru. Secara administratif, Soeharto dinilai memenuhi kriteria pahlawan karena jasa dan pengabdiannya terhadap bangsa.
Akan tetapi, banyak akademisi menekankan bahwa kepahlawanan tidak hanya diukur dari keberhasilan pembangunan, melainkan juga dari moralitas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, perdebatan mengenai gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto menunjukkan bahwa makna kepahlawanan di Indonesia masih bersifat kompleks.
Soeharto diakui berperan besar dalam pembangunan, tetapi warisan politik dan dugaan pelanggaran HAM di masa pemerintahannya tetap menjadi catatan sejarah yang tidak dapat diabaikan.
Di saat yang bersamaan Soeharto sendiri disandingkan dengan Marsinah, seorang buruh yang menghilang dalam aksi perjuangan buruh di masa Orde Baru.
Menanggapi hal tersebut peneliti Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif, Ruth Indiah Rahayu, melihat bahwa pengusulan Marsinah sebagai pahlawan nasional merupakan salah satu metode pemerintah agar bisa pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional dapat disetujui.
Pemerintah pada masa itu, kata Ruth, dituduh tidak serius dalam mengusut tuntas kasusnya. Bahkan, pemerintah saat itu diduga terlibat dalam upaya rekayasa persidangan yang menghasilkan pembebasan para terdakwa di tingkat kasasi.
"Sekarang, (Soeharto) disandingkan dengan Marsinah. Ingat, kasus pembunuhannya belum ada keadilan, belum diakui negara. Kok tiba-tiba dikasih gelar kepahlawanan? Keadilannya dulu. Ini kan manipulatif, untuk membius massa, memanipulasi kesadaran massa," kata Ruth.
Dia menambahkan bahwa seolah-olah negara sudah adil. "Ada Soeharto sebagai penguasa dan juga Marsinah yang disebut korban. Ini manipulasi politik dan manipulasi sejarah yang sangat luar biasa," cetusnya.
Selanjutnya penganugerahan gelar pahlawan terhadap Presiden ke-2 RI pun memantik polemik berkepanjangan dari berbagai kalangan. Tak sekedar menuai tanggapan para akademisi melainkan juga dengan masyarakat sipil, hal ini pun membuka luka lama bagi keluarga korban (pada kejadian era Orba). Terlihat pada saat Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) kembali dilakukan, sebagai bentuk unjuk rasa di kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta pada Kamis, 6 November 2025.
Tentu pemicu utamanya ialah desas desus kembali pemberian gelar ‘pahlawan’ terhadap terduga pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia yang tak pernah diadili.
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya menilai, Soeharto adalah sosok yang tidak pantas dianugerahi gelar pahlawan nasional karena memiliki rekam jejak panjang pelanggaran HAM dan kasus korupsi. Ia juga menyebut dugaan praktik korupsi yang melekat pada Soeharto selama berkuasa. Tak sekedar unjuk rasa secara langsung, penolakan ini juga dilakukan dengan penandatanganan petisi yang tersebar di berbagai media sosial. Per tanggal 12 november 2025, dua hari sejak pemberian gelar. Sebanyak 22 ribu orang lebih telah terverifikasi melakukan tanda tangan. Melihat polemik tanggapan dari berbagai kalangan, istana belum menjawab secara resmi amarah dan kecewa publik.
Mengutip dari iNews.id Menteri Sosial Saifullah Yusuf menanggapi bahwa semua nama Pahlawan Nasional sudah melalui kajian mendalam. Jadi tidak ada keputusan yang diambil secara terburu-buru. "Mereka yang menerima gelar ini telah terbukti memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negara,” kata Gus Ipul di Jakarta, Minggu 9 November 2025 lalu.
Secara keseluruhan, polemik ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap kepahlawanan tidak bisa hanya bertumpu pada capaian pembangunan, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek moralitas, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pemberian gelar kepada Soeharto masih memunculkan perdebatan karena sejarah Orde Baru menyisakan memori ganda keberhasilan pembangunan di satu sisi, dan pelanggaran HAM serta otoritarianisme di sisi lain.
Editor : Suriya Mohamad Said