Kiai As'ad Tokoh NU yang Melatih Pasukan dari Mantan Preman di Pertempuran 10 November 1945

Donatus Nador
Kiai Haji Raden (KHR) Asad Syamsul Arifin. (Foto: Ist)

JAKARTA - Sejarah mencatat, pertempuran pada 10 November 1945 , salah satu peristiwa paling heroik, di mana kaum muda bertaruh nyawa mempertahankan kemerdekaan. Gelora Arek-arek Suroboyo menggema membakar semangat para pejuang. Peluh dan darah petarung sejati menyatu dalam bau mesiu dan desing peluru musuh. Peristiwa 10 November ini pun dikenang sebagai Hari Pahlawan. Dan Surabaya, tempat berlangsungnya pertempuran, dijuluk sebagai Kota Pahlawan. Kota Pahlawan dan Hari Pahlawan mengingatkan kepada generasi bangsa bahwa pada momen itu di Surabaya, penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia, gagal total menembus spirit perjuangan anak bangsa yang berdiri kokoh di atas fondasi kebersamaan dan persatuan

Yang menarik dan tak terlupakan dalam catatan sejarah, salah satu elemen bangsa yang ikut bertempur kalau itu adalah para Kiai. Salah satu tokoh yang paling dikenal adalah Kiai Haji Raden (KHR) As'ad Syamsul Arifin.

Dalam catatan tokoh NU Samsul A Hasan, Kiai As'ad yang lahir pada 1897 di Makkah itu, salah satu tokoh yang terlibat aktif dalam pertemuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Pertemuan yang dihadiri Rais Akbar NU Hadratus Syech KH Hasyim tersebut menghasilkan Resolusi Jihad. Resolusi itu kemudian dikenal sebagai motor spiritual penggerak semangat warga Surabaya dan sekitarnya untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan dan melawan penjajah. Tindak lanjut dari resolusi ini, Kiai As'ad kemudian bergerak ke Madura, diawali dari Bangkalan, kemudian ke Sampang dan dilanjutkan ke Pamekasan hingga ke Sumenep.

Di empat kabupaten tersebut, Kiai As'ad bertemu dengan para ulama dan menyerukan resolusi jihad untuk melawan penjajah. Kiai As'ad menggerakkan ulama di Madura mengumpulkan warga untuk dilatih fisik dan rohani agar memiliki kemampuan berperang. Saat hendak mengumpulkan massa itu, ada persoalan terkait siapa yang bakal ikut berjihad, para Kiai atau santri. Kalau memilih kiai atau ulama untuk berperang, siapa yang akan mengurusi pendidikan agama, khususnya di pesantren?

Lalu, kalau santri yang terlibat, siapa yang akan meneruskan dakwah Islam di masyarakat nantinya jika banyak santri yang gugur. Kemudian, kalau wali santri, siapa yang akan membiayai santri dalam menuntut ilmu agama? Maka pilihannya bukan pada ketiga pribadi itu. Pilihannya untuk ikut berperang adalah pada penjahat.

"Rasa-rasanya, inilah pilihan yang paling pas. Bukankah mereka (penjahat) memiliki modal keberanian? Lagi pula kalau mereka nantinya mati, berarti mengurangi jumlah orang jahat. Syukur-syukur kalau mereka nantinya insyaf," tulis Samsul A Hasan dalam bukunya bertajuk Kisah Tiga Kiai Mengelola Bekas Bajingan; Sang Pelopor. Setelah memberikan arahan kepada para ulama di Madura agar mencari para preman dan penjahat, Kiai As'ad kembali ke pesantrennya di Sukorejo. Selanjutnya, Kiai As'ad kemudian menghubungi beberapa anggota Pelopor (Palopor), pasukan inti gerilya yang dibina oleh Kiai As'ad. Di pasukan Pelopor yang legendaris ini para bandit bergabung. Untuk memberi latihan fisik dan rohani, Kiai As'ad mempercayakan tugas itu kepada Mabruk dan Abdus Shomad. Tidak hanya latihan fisik, mereka juga diberi amalan atau ijazah dzikir agar mereka selamat dari serangan musuh, yang di lingkungan budaya Madura dikenal sebagai "jaza".

KH Syamsul Arifin, abah dari Kiai As'ad, juga ikut memberikan sentuhan spiritual "jaza" kepada para bandit itu. Mereka juga diajari ilmu menghilang yang biasa digunakan oleh anggota Pelopor untuk mencuri senjata di gudang pasukan musuh. Pelatihan pasukan khusus Pelopor ini ternyata tidak sia-sia. Saat pasukan sekutu kembali dan mau mendarat di Surabaya, pada 10 November 1945, perang tak terhindarkan. Pasukan Pelopor yang terdiri dari para bandit yang sudah insaf itu ikut ambil bagian, khususnya di wilayah Tanjung Perak, Jembatan Merah dan di wilayah Wonokromo, Surabaya. Agar tidak ketahuan musuh, pasukan itu diberangkatkan secara bergelombang dari Situbondo dengan menggunakan kereta api. Berkat perjuangan dari semua elemen, termasuk pasukan Pelopor, pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby itu kalah. Sejarah mencatat, sang jenderal tewas di tangan Arek-Arek Suroboyo bersama kekuatan masyarakat di Jatim, termasuk pasukan binaan Kiai As'ad. Dari apa yang dilakukan Kiai As'ad, satu pelajaran penting yang bisa dipetik adalah sejahat apa pun pribadi seseorang, tetap memiliki sisi positif yang bermanfaat bagi bangsa. Para bandit yang diinsyafkan oleh Kiai telah memberikan yang terbaik untuk bangsa. KHR As'ad meninggal pada 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun). Dia adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Dusun Sukorejo, Desa Sumberrejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Atas jasanya yang menyiapkan pasukan khusus Pelopor, KHR As'ad Syamsul Arifin diberi gelar pahlawan oleh pemerintahan Jokowi pada 9 November 2016. ( iNews Malang )

 

Editor : Arif Handono

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network