JAGAD politik Indonesia kembali heboh, masyarakat dibuat terkejut dan terheran-heran terkait pergerakan politik para elit terutama sikap politik keluarga Presiden. Berita politik terbaru terkait anak bungsu Presiden Jokowi Kaesang Pangarep yang didapuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Kehebohan politik tersebut dikarenakan ada fenomena ganjil dan tidak lumrah terkait penunjukan instan Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum PSI. Dimana baru masuk dan menjadi anggota partai dua hari sudah langsung menjadi Ketua Umum. Hal itu terkesan menabrak semua aturan lumrah organisasi partai Politik di Indonesia, sehingga menjadi pro kontra di masyarakat politik di Indonesia.
Seperti yang disampaikan oleh Ray Rangkuti Direktur Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, menyebut, "penunjukan Kaesang sebagai Ketum PSI tanpa kaderisasi seperti pertunjukan sulap. Dia merasa geli karena Kaesang diplot jadi Ketum PSI seperti sim salabim. Tidak ada yang paling menggelikan dalam bulan ini di ruang politik kecuali PSI memilih Kaesang sebagai ketua umum partai itu. Seperti sim salabim, baru sehari bergabung langsung didapuk menjadi ketua umum." (politik.rmol.id/25/9/2023).
Pandangan miring tersebut, menurut saya wajar, karena selama ini publik menyaksikan pergerakan politik PSI d jagad perpolitikan Indonesia tampak sangat segar, maju, kreatif, tegas, lugas, berani, inovatif yang mencerminkan politik yang idealis berkemajuan dan progresif, politik gaya anak muda milenial.
Masyarakat Indonesia berharap besar kepada PSI menampilkan gaya politik baru dan keluar dari hegemoni dan pola politik gaya lama atau gaya "orang tua" yang cenderung oportunis, transaksional bahkan cenderung koruptif. Namun, fakta di lapangan kita menyaksikan tampilan orkestra politik PSI jauh dari harapan kita sebagai partai politik kaum muda progresif-idealis, malah tampak sekali oportunistik-pragmatis.
Hal itu tampak dari sikap politik PSI yang instan dalam penunjukan Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum PSI. Penunjukan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI menunjukkan pola dan gaya politik PSI yang sangat oportunistik-pragmatis. Sebab seandainya Kaesang bukan anak Presiden apa akan dilakukan seperti ini di PSI? Saya yakin tidak akan terjadi.
Selain itu, bagaimana dengan aturan organisasi PSI terutama dalam proses rekrutmen dan perkaderan anggota Partai. Dengan pola tersebut terkesan banyak aturan organisasi yang di tabrak dan dilewati demi kepentingan sesat. Hal ini tentu cermin atau potret Politik kurang bagus bagi generasi muda Indonesia, yang di ajari sikap instan politik tanpa proses perjuangan.
Penunjukan Kaesang tentu dapat dibaca sebagai langkah "politik jalan tol" PSI untuk masuk parlemen dengan menjual Kaesang dengan harapan dapat back up bapaknya yang Presiden, tanpa susah payah menjual program-program progresif seperti dulu ke masyarakat.
* Direktur InSID Research and Humanity & Pengamat Politik UM Surabaya
Editor : Arif Handono