MALANG, iNewsMalang.id - Bundaran Tugu merupakan bangunan ikonik yang juga bersejarah bagi Kota Malang. Bangunan ini juga menjadi salah satu simbol kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda.
Konon tak hanya bangunannya saja yang menarik, kisah sejumlah harta benda yang tertanam di dalam Bundaran Tugu menjadi menarik dibahas. Pemerhati sejarah Malang Agung Buana mengungkapkan, Tugu Malang dapat dilihat sebagai simbol paku buminya Kota Malang yang mempunyai nilai-nilai historis, filosofis, sampai dengan mistisnya.
Tak hanya itu, Tugu Malang juga sengaja dibuat sebagai simbol ikonik kota, yang diawali dari pembangunan sebuah alun-alun bundar tepat di depan Balaikota Malang oleh pemerintahan Belanda diarsiteki Thomas Karsten.
"Kita harus lihat dulu ke belakang kapan tugu dibangun. Sejak Belanda membangun alun-alun bundar tahun 1927an itu mereka melihat kota ini membutuhkan suatu area lapang dan area lapang ini tepat berada di depan balai kota," kata Agung Buana ditemui MNC Portal.
Dari sanalah akhirnya Belanda, membuat sebuah lapangan tepat di depan Balaikota Malang, selain sebagai tempat berkumpul masyarakat dan untuk mempercantik pemandangan.
Seiring berjalannya waktu, tepatnya usai Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, alun-alun bundar itu lantas dibangun Tugu Malang pada tahun 1946 dan diresmikan tepat setahun setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1946.
"Peresmian yang pertama kali tanggal 17 Agustus 1946 sebenarnya merupakan gambaran dari wujud kemenangan setelah satu tahun Indonesia diproklamasikan, makanya disebut tugu merdeka," ungkapnya. Saat proses pembangunan tugu itulah konon sebuah benda-benda berharga sengaja ditanam di tengah-tengahnya sebagai penanda atau istilah Jawa-nya tetenger layaknya prosesi pembangunan bangunan di masa Hindu-Buddha.
Selain itu, benda-benda persembahan yang disimpan di dalam sebuah bangunan ini juga konon menghilangkan unsur-unsur negatif. "Ketika masa klasik Hindu Buddha ketika mau membangun candi atau bangunan-bangunan besar gapura selalu ada tetenger dalam bentuk peripih.
Peripih itu berbentuk kotak, isinya macam-macam, bentuknya kotak saya lihat fotonya," katanya. "Isinya bisa diduga seperti halnya ritual zaman dahulu, isinya benda-benda yang dianggap mampu memberikan kekuatan nilai-nilai magis, termasuk bagaimana menghilangkan unsur-unsur negatif kepada bangunan itu sendiri," lanjutnya.
Dari benda-benda yang dimasukkan dan dijadikan persembahan yang ditanam, konon salah satunya merupakan perhiasan seperti emas, intan, dan permata. Barang-barang ini lantas ditanam di kedalaman dua meter di bawah permukaan tanah, sebelum akhirnya ditanam pondasi pembangunan Bundaran Tugu Malang.
"Salah satunya yang dipilih adalah emas, intan, permata yang mempunyai nilai kekuatan dan keabadian," kataya. "Karena harapannya ketika bangunan itu dibangun, itu ada nilai keabadian, tidak dibongkar, sehingga ditempatkanlah beberapa barang benda berharga di situ untuk memberikan satu kekuatan, yang dipercayai sebagai kekuatan, maupun nilai-nilai magis di dalam bangunan itu sendiri.
Kalau saat itu (ukuran emasnya) nggak tahu caranya berapa, kalau peningset itu disimpan, nggak banyak orang tahu," jelasnya. Penanaman kotak yang konon perhiasan emas inilah yang disebut pria yang pernah menjabat sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), sebagai bagian kepercayaan layaknya nenek moyang terdahulu.
Saat itu memang orang Jawa kalau mau membangun rumah atau bangunan apapun harus menanam sesuatu berupa sesajen. "Ketika membangun jembatan kepala kerbau ditanam di jembatan itu, ya tujuannya sebagai menetralisir hal-hal yang kurang baik, dan mengharapkan kepada Tuhan Yang maha esa bangunan ini abadi dan mempunyai manfaat terhadap masyarakat sekitar," katanya. Bahkan konon emas dan segala perhiasan itu sudah ada saat Bundaran Tugu Malang saat peristiwa Malang Bumi Hangus, yang terjadi di tahun 1947.
Memang saat peristiwa Malang Bumi Hangus Bundaran Tugu Malang rusak, tapi pondasi yang tertanam di dalamnya masih utuh dan aman. Sehingga dimulai pembangunan kembali dan diresmikan oleh Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno pada 20 Mei 1953.
"Kan (emasnya) di dalam tanah dan ditumpuki pondasi struktur bangunan tugu. Jadi kalau mau ngambil bangunan tugunya harus diruntuhkan. Tapi ya kan ngga mungkin meruntuhkan, buat apa kita juga ngambil tidak seberapa dibanding nilai semangat yang ditampilkan dari Tugu Malang itu sendiri," terangnya.
"Sekali lagi buat apa kita ngambil emasnya, toh yang kita harapkan bukan emasnya tapi adalah semangat arek-arek Malang ketika mempertahankan kemerdekaan, itu yang paling kuat," pungkasnya. iNews Malang
Editor : Arif Handono