Hukum Kebiri Bagi Predator Seksual di Dunia Pendidikan 

Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I*
Ilustrasi penanganan kasus predator seksual Herry Wirawan, yang akhirnya divonis mati (Foto: dok)

Dalam pelaksanaan hukum kebiri, pelaku akan divonis dengan dijatuhi hukuman berupa prosedur medis penghapusan penis dan testis, atau organ seks eksternal laki-laki. Pada awal kemunculannya, hukum kebiri telah ada di Eropa sejak Abad Pertengahan hingga kini semua negara telah menerapkannya.

Mengutip Adam Yuriswanto dan Ahmad Mahyani dalam publikasinya yang berjudul Hukuman Kebiri Sebagai Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Kejahatan Seksual, penerapan hukum kebiri adalah implementasi dari tujuan pemidanaan yang sesuai dengan teori gabungan karena menitik beratkan pada pembalasan yang dapat menimbulkan efek jera melalui suatu proses rehabilitasi. (Sumber:liputan6.com, 18/3/2023)

Hemat saya, hukum Kebiri layak diterapkan kepada pelaku, sebab hukuman tersebut selaras dengan spirit-filosofis dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 46 Tahun 2023. Permendikbud Ristek tersebut mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbud Ristek PPKSP) sebagai Merdeka Belajar Episode 25.

Sebagai mana dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, "Permendikbud Ristek PPKSP disahkan sebagai payung hukum untuk seluruh warga sekolah atau satuan pendidikan.  Peraturan itu lahir untuk secara tegas menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi".  

"Permendikbud Ristek itu juga bertujuan membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi, mencakup kekerasan dalam bentuk daring, psikis, dan lainnya dengan berperspektif pada korban. Permendikbud Ristek PPKSP melindungi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari kekerasan yang terjadi saat kegiatan pendidikan, baik di dalam maupun di luar satuan pendidikan".

"Permendikbud Ristek PPKSP juga menghilangkan area “abu-abu” dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, serta diskriminasi dan intoleransi untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan." 

Peraturan itu mengatur tata cara penanganan kekerasan yang berpihak pada korban yang mendukung pemulihan. Satuan pendidikan juga diamanatkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk membentuk satuan tugas (satgas). (Sumber:https://nasional.kompas.com//2023/08/08)

Hemat saya, peraturan pemerintah tersebut sangat bagus, tepat dan harus segera dilaksanakan di tengah kondisi darurat kekerasan seksual di dunia pendidikan Indonesia.  Berdasarkan data Berdasarkan data hasil survei Asesmen Nasional Tahun 2022, sebanyak 34,51 persen peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, lalu 26,9 persen peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan. 

Editor : Arif Handono

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network