Biasanya, para relawan ini berangkat dari rumah masing-masing pada pagi hari, sekitar pukul 08.00 WIB. Setibanya di kawasan Jemplang, mereka bergabung dengan petugas dari BPBD, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB-TNBTS), kepolisian, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk memadamkan api. Mereka menggunakan alat-alat sederhana, seperti gebyok yang terbuat dari jaring yang dimodifikasi, ranting pohon besar, bahkan parang untuk memotong dan mereduksi api.
Namun, mereka dengan jujur mengakui bahwa tanpa dukungan air yang memadai, usaha mereka untuk mendinginkan api tidak akan begitu efektif. Wildan Hangga menjelaskan bahwa meskipun semangatnya berkobar, tanpa dukungan air yang memadai, upaya pemadaman terasa seperti usaha yang kurang sempurna.
Partisipasi aktif dari relawan yang berasal dari masyarakat sekitar juga terlihat di tiga titik lain di kawasan Gunung Bromo, mulai dari Wonokitri, Pasuruan, Sukapura, Probolinggo, hingga Senduro, Lumajang.
Wildan juga berbagi pengalaman tentang betapa sulitnya mengakses medan yang berada pada ketinggian hampir 2.000 meter di atas permukaan laut. Perjalanan dari savana padang rumput hingga titik api di Gunung Watangan memakan waktu lebih dari dua jam. Bahkan, mereka harus menghadapi api yang berkobar hebat akibat tiupan angin kencang pada hari Senin dan Selasa sebelumnya.
Editor : Arif Handono
Artikel Terkait