MALANG, iNewsMalang.id - Di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur, cerita mengenai penanganan kebakaran menjadi sebuah narasi epik yang melibatkan Relawan Masyarakat Peduli Api (MPA) dan masyarakat sekitar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka bukan hanya saksi bisu, tetapi berdiri kokoh di garis terdepan untuk memadamkan api, bahkan di tempat-tempat yang seharusnya sulit dijangkau.
Pemandangan yang bisa kita saksikan di blok Jemplang, Desa Ngadas, Poncokusumo, Malang, memperlihatkan bahwa mayoritas para relawan ini adalah para pelaku wisata dan pengelola destinasi di sekitar Gunung Bromo, termasuk dalam barisan mereka adalah komunitas jeep Bromo Tengger 4 X 4. Mereka tampil khas dengan sarung yang diikat di leher, sesuai dengan tradisi masyarakat Tengger, dan jaket tebal sebagai perisai dari cuaca dingin. Mereka dengan mudah terbedakan dari petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang memakai seragam oranye, serta para anggota instansi resmi lainnya.
Para sopir jeep ini bersatu dengan petugas lainnya, menggunakan peralatan yang sederhana, bahkan pakaian yang tak sesuai standar keselamatan. Beberapa relawan yang berasal dari masyarakat desa sekitar hanya mengenakan sandal jepit, tanpa sepatu pelindung, dan beberapa lainnya bahkan mengenakan celana pendek, yang jelas-jelas jauh dari standar keselamatan. Wildan Hangga, seorang relawan dari komunitas jeep Bromo Tengger Semeru, mengakui bahwa banyak anggota komunitas dan masyarakat setempat hanya memiliki peralatan seadanya, bahkan yang melekat erat pada tubuh mereka. Meskipun begitu, semangat mereka untuk memadamkan api terus berkobar.
Biasanya, para relawan ini berangkat dari rumah masing-masing pada pagi hari, sekitar pukul 08.00 WIB. Setibanya di kawasan Jemplang, mereka bergabung dengan petugas dari BPBD, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB-TNBTS), kepolisian, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk memadamkan api. Mereka menggunakan alat-alat sederhana, seperti gebyok yang terbuat dari jaring yang dimodifikasi, ranting pohon besar, bahkan parang untuk memotong dan mereduksi api.
Namun, mereka dengan jujur mengakui bahwa tanpa dukungan air yang memadai, usaha mereka untuk mendinginkan api tidak akan begitu efektif. Wildan Hangga menjelaskan bahwa meskipun semangatnya berkobar, tanpa dukungan air yang memadai, upaya pemadaman terasa seperti usaha yang kurang sempurna.
Partisipasi aktif dari relawan yang berasal dari masyarakat sekitar juga terlihat di tiga titik lain di kawasan Gunung Bromo, mulai dari Wonokitri, Pasuruan, Sukapura, Probolinggo, hingga Senduro, Lumajang.
Wildan juga berbagi pengalaman tentang betapa sulitnya mengakses medan yang berada pada ketinggian hampir 2.000 meter di atas permukaan laut. Perjalanan dari savana padang rumput hingga titik api di Gunung Watangan memakan waktu lebih dari dua jam. Bahkan, mereka harus menghadapi api yang berkobar hebat akibat tiupan angin kencang pada hari Senin dan Selasa sebelumnya.
Bagi Wildan dan rekan-rekan relawan lainnya, membantu dalam pemadaman api adalah panggilan batin dan kesadaran pribadi, tanpa ada jaminan keselamatan atau asuransi jiwa. Mereka bahkan harus mengeluarkan biaya pribadi untuk mendukung upaya pemadaman api, termasuk biaya perbaikan kendaraan jeep operasional jika mengalami kerusakan. Mereka dengan rela mengorbankan segala yang mereka miliki, bahkan harus menjatuhkan diri ke tanaman tinggi untuk memadamkan bara api. Mereka menyadari risikonya, tetapi ini adalah pilihan yang mereka ambil dengan tekad kuat untuk membantu memadamkan api dan berharap agar situasi dapat kembali pulih, sehingga mereka dapat kembali melakukan pekerjaan mereka.
Inilah cerita nyata tentang semangat serta pengorbanan relawan dan masyarakat setempat yang menjadi pahlawan dalam menghadapi bencana kebakaran di Gunung Bromo. Meskipun penuh risiko, mereka memilih untuk bergabung dalam upaya pemadaman dengan harapan agar segera bisa kembali bekerja dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Editor : Arif Handono