Logo Network
Network

Sentimen Agama Jadi Komoditas Politik, Demokrasi India Dinilai Makin Mundur

Muhammad Faizal
.
Kamis, 24 Maret 2022 | 12:47 WIB
Sentimen Agama Jadi Komoditas Politik, Demokrasi India Dinilai Makin Mundur
Kelompok Politik di India

Tindak represi kelompok nasionalis Hindu terhadap Muslim India belakangan makin menjadi-jadi. Konflik yang dikipasi kepentingan politik itu dikhawatirkan merusak demokrasi di negara berpenduduk 1,4 miliar tersebut.

Jika dibiarkan, para ahli khawatir hal itu akan menggeser status India sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Sentimen itu juga menimbulkan keraguan tentang masa depan India sebagai negara sekuler.

Partai sayap kanan Bharatiya Janata Party (BJP), telah lama mengipasi sentimen anti-Muslim sebagai bagian dari strategi kemenangan pemilu untuk menggalang dukungan dari mayoritas umat Hindu, yang merupakan 80% dari 1,4 miliar penduduk India.

"BJP telah mengirim pesan bahwa tidak apa-apa mengejar Muslim," ujar Aakar Patel, ketua Amnesty International India seperti dilansir Los Angeles Times Rabu (16/2/2022). Hal ini dinilainya membuat BJP populer, namun juga meningkatkan aksi represi di tingkat bawah.

Belum lama ini di negara bagian Karnataka, setelah nasionalis Hindu memburu siswi Muslim karena mengenakan jilbab, pihak berwenang menganggap ancaman kekerasan cukup serius untuk menutup sekolah dan perguruan tinggi selama beberapa hari. Yang lebih mengganggu, para pemimpin Hindu radikal dilaporkan telah menyerukan pembantaian jutaan Muslim, seperti pembersihan etnis di Myanmar.

"Entah Anda bersiap untuk mati sekarang, atau bersiap untuk membunuh, tidak ada cara lain," ujar Swami Prabodhanand Giri, presiden organisasi sayap kanan Hindu Raksha Sena, kepada para pendukungnya dalam sebuah pertemuan keagamaan Desember lalu.

"Inilah sebabnya, seperti di Myanmar, polisi di sini, politisi di sini, tentara, dan setiap umat Hindu harus mengangkat senjata karena kami harus melakukan pembersihan ini," ujarnya. Ketika kaum nasionalis telah memperkuat seruan mereka agar India menulis ulang konstitusinya dan membentuk negara-bangsa Hindu, kekuasaan massa dinilai telah direnggut.

 

Akar perselisihan agama India dapat ditelusuri ke tahun 1947 ketika Inggris di bawah tekanan dari para pemimpin politik Muslim yang menginginkan negara mayoritas Muslim, mengubah perbatasan koloninya. Pemisahan anak benua India itu melahirkan Pakistan.

Tetapi, karena perbatasan baru dibuat secara tergesa-gesa, banyak Muslim dan Hindu berada di sisi perbatasan yang salah. Situasi itu menciptakan gelombang kekerasan dan teror yang menewaskan 1 juta orang dan membuat 14 juta orang lainnya mengungsi.

Namun, jutaan Muslim tetap bertahan saat pembentukan India sebagai negara merdeka, yang perdana menteri pertamanya, Jawaharlal Nehru, menekan nasionalisme Hindu demi visi yang lebih egaliter untuk negara tersebut.

Namun, pada tahun 1980-an sekularisme mulai terkikis. PM Indira Gandhi dan penggantinya, Rajiv Ghandi, mulai menjadi panutan berbagai kelompok agama konservatif, dan menyiapkan panggung bagi BJP untuk mengeksploitasi ketegangan agama.

"Jika Anda bertanya kepada kebanyakan orang hari ini tentang sekularisme di India, banyak dari mereka akan memberi tahu Anda bahwa itu adalah masa lalu," ujar Gilles Verniers, ilmuwan politik di Universitas Ashoka di utara New Delhi.

Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi dinilai telah lama memahami kekuatan intoleransi sebagai strategi politik. Pada 2005, ketika dia menjadi pemimpin negara bagian Gujarat, Modi dilarang memasuki Amerika Serikat karena gagal menghentikan kerusuhan mematikan oleh umat Hindu terhadap Muslim India.

Sejak menjabat pada 2014, demokrasi India pun dinilai terus mengalami kemunduran. Indeks Demokrasi Unit Intelijen Economist menurunkan peringkat India menjadi 46 dari 27, sementara Freedom House yang berbasis di Washington menurunkan peringkat negara itu menjadi "bebas sebagian" dari status "bebas".

Dalam laporan tahun 2020 kepada Kongres Amerika Serikat (AS), Departemen Luar Negeri AS memberikan penilaian suram terhadap catatan hak asasi manusia India, dengan mencantumkan serangkaian pelanggaran yang mencakup pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan, dan penangkapan sewenang-wenang.

"Nasib tatanan demokrasi liberal dunia terkait erat dengan India karena ukurannya sebagai negara demokrasi terbesar di dunia," kata Niranjan Sahoo, rekan senior di Observer Research Foundation, wadah pemikir global di New Delhi.

Penilaian negatif itu dibantah Menteri luar negeri India, Subrahmanyam Jaishankar. Dia mengarahkan kritik ke AS dan upaya Presiden Trump dan sekutunya membatalkan hasil pemilu 2020. "Anda menggunakan dikotomi demokrasi dan otokrasi," ujar Jaishankar tahun lalu. "Kau ingin jawaban yang jujur? Itu adalah kemunafikan."

Terlepas dari itu, pandangan moderat sebetulnya bertahan di India. Survei Pew Research tahun lalu menemukan bahwa 85% orang Hindu setuju menghormati semua agama adalah penting untuk menjadi orang India sejati. Namun suara mereka sering ditenggelamkan oleh kaum nasionalis sayap kanan yang lebih banyak beraksi di jalanan.

Lebih memprihatinkan lagi, penganiayaan agama tidak terbatas pada umat Islam. Ancaman juga ditujukan pada penganut Kristen dan Sikh. Desember lalu, kelompok nasionalis Hindu menyerbu satu sekolah Katolik untuk mencegah apa yang mereka pikir sebagai upacara konversi agama di negara bagian Madhya Pradesh. Akan tetapi, Muslim adalah target yang paling umum.

Dalam strategi baru menyakiti umat Islam, kelompok nasionalis dan pemimpin agama Hindu telah menganjurkan untuk memboikot bisnis mereka. Satu video yang diambil bulan lalu di negara bagian Chhattisgarh dan beredar secara luas menunjukkan penduduk desa berjanji tidak pernah membeli barang dari warga Muslim, menyewakan atau menjual tanah kepada mereka.

Uttar Pradesh, negara bagian terpadat di India dan juga salah satu yang paling miskin, menjadi tempat yang dinilai paling buruk terkait represi terhadap Muslim. Negara bagian itu dipimpin Yogi Adityanath, seorang biksu Hindu nasionalis sayap kanan yang dianggap sebagai calon penerus Modi.

Adityanath tercatat memiliki beberapa kasus pidana yang menunggunya di berbagai pengadilan. Pada 2007, dia menghabiskan 11 hari di penjara karena mencoba memicu ketegangan komunal. Dalam satu pidatonya, Adityanath pernah berucap: "Jika mereka (Muslim) membunuh satu orang Hindu, maka kami akan membunuh 100 pria Muslim." ( iNews Malang )

Editor : Arif Handono

Follow Berita iNews Malang di Google News

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.