Kontradiksi Gelar Pahlawan Soeharto dan Marsinah
Namun, sentralisasi yang sama menciptakan ruang gelap tanpa kontrol sehingga memberi celah penyalahgunaan kekuasaan pada kala itu. Dengan kehadiran Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru, memungkinkan militer untuk hadir dalam menjaga ketahanan nasional serta mengatur birokrasi, dari pemerintahan daerah hingga lapisan masyarakat.
Hal tersebut memicu protes dari rakyat, namun alih-alih merespons dengan dialog sosial, pemerintah justru menjadikan ancaman sebagai penyelesaian untuk menjaga kestabilan nasional. Dalam iklim semacam ini, oposisi dan gerakan masyarakat mudah ditempatkan dalam bingkai “pengganggu stabilitas,” sebagai langkah pembatasan demi mempertahankan jalannya pembangunan.
Serangkaian kasus seperti Wasior dan Wamena merupakan bentuk nyata bahwa pola represif itu tidak hilang begitu saja, melainkan berlanjut di wilayah yang dianggap rentan oleh negara. Tak hanya kasus tersebut, sejarah juga sudah mencatat bahwa pada masa kepemimpinan Soeharto sarat pelanggaran hak asasi manusia, seperti peristiwa 1965–66, penembakan misterius, integrasi Timor Timur, serta kerusuhan Mei 1998.
Selain itu, sistem politik otoriter dan praktik korupsi yang meluas menjadi kritik utama terhadap warisan Orde Baru. Secara administratif, Soeharto dinilai memenuhi kriteria pahlawan karena jasa dan pengabdiannya terhadap bangsa.
Akan tetapi, banyak akademisi menekankan bahwa kepahlawanan tidak hanya diukur dari keberhasilan pembangunan, melainkan juga dari moralitas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, perdebatan mengenai gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto menunjukkan bahwa makna kepahlawanan di Indonesia masih bersifat kompleks.
Soeharto diakui berperan besar dalam pembangunan, tetapi warisan politik dan dugaan pelanggaran HAM di masa pemerintahannya tetap menjadi catatan sejarah yang tidak dapat diabaikan.
Editor : Suriya Mohamad Said