KEDIRI, iNewsMalang.id - Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjadi salah satu pasar opium terbesar di Nusantara. Opium yang didatangkan dari luar negeri itu menjadi komoditas dagang yang sangat menguntungkan kas Negara Hindia Belanda. Saat itu orang-orang Jawa dan sebagian Tionghoa rela merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa menikmati candu tersebut. Mereka memenuhi pondok opium untuk beramai-ramai mengisap candu.
"Semua opium resmi yang dikonsumsi di Jawa pada abad ke-19 berasal dari Turki dan Persia atau British Bengal,” tulis James R Rush dalam buku “Candu Tempo Doeloe, Pemerintah, Pengedar dan Pecandu 1860-1910 ”.
Pemerintah Hindia Belanda mendapatkan opium dari hasil pemenangan lelang di Calcutta atau di British Singapura. Pemerintah membeli dari para pedagang swasta Belanda di Levant. Sebelum dilempar ke pasar, opium yang masuk ke Jawa lebih dulu disimpan di gudang-gudang yang sudah disiapkan di Batavia, Semarang dan Surabaya. Bisnis opium dijalankan negara secara legal. Untuk aturan tata niaganya, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1860 membuat kebijakan Pak Opium (opiumpach), yakni kesepakatan monopoli atas penjualan opium.
Monopoli perdagangan opium diberikan negara kepada mereka yang bersedia bermufakat. Mereka yang mendapat hak istimewa itu biasa disebut pengepak, dan bekerja dalam jangka waktu tertentu dengan kewenangan berdasarkan kewilayahan, seperti kota, distrik atau provinsi. “Di Pulau Jawa sepanjang abad ke-19, para saudagar Tionghoa membayar mahal hak istimewa ini,” kata Jamesh R Rush.“Jadi, mereka memasok pajak dalam jumlah besar kepada Pemerintah Belanda di pulau tersebut (Jawa),” katanya. Jelang berakhirnya sistem tanam paksa, mulai tahun 1860, Pak Opium menjadi lembaga kunci yang menghubungkan sistem Pegawai Tionghoa dengan Pangreh Praja dan Pegawai Kolonial. Sumber pendapatan yang berasal dari pajak Pak Opium merupakan yang terbesar dibanding sektor-sektor ekonomi lainnya. Betapa opium sangat diminati penduduk Jawa yang pada tahun 1883 tersebar di 22 karsidenan, di mana sejak tahun 1870 per kabupaten sebanyak 180.000 jiwa atau total se Pulau Jawa mencapai 18 juta jiwa.
Pasar opium terkaya berada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pak Opium Surakarta, Karsidenan Kediri, Madiun dan Semarang hampir selalu menghasilkan pendapatan tertinggi. Selama abad ke-19, daerah-daerah tersebut menjadi tempat para pengepak opium terkuat berkuasa.
Pada saat itu hanya wilayah Priangan dan sebagian besar Banten (Jawa Barat) yang tertutup untuk operasi Pak Opium resmi. Di dua wilayah tersebut dan sekitarnya muncul kebencian lokal dari masyarakat yang menolak keberadaan opium, termasuk berani membuat larangan resmi. Selain Surakarta, Karsidenan Kediri, Madiun dan Semarang, karsidenan di wilayah pesisir juga menjadi basis pasar peredaran opium yang besar. Rembang dan Surakarta yang saling berdekatan, bersama Kedu dan Yogyakarta di bagian selatan Jawa Tengah, juga menjadi kantong-kantong konsumen atau penghisap opium dalam jumlah besar.
Begitu juga wilayah Pasuruan, Probolinggo dan Besuki (Jawa Timur), serta Pulau Madura, konsumsi opium secara konsisten tergolong tinggi. Pada abad ke-19, menghisap opium sudah menjadi ciri umum kehidupan masyarakat Jawa di kota maupun di desa. Di setiap desa maupun kota terdapat pemakai tetap dan para penghisap yang bersifat kadang-kadang.
Editor : Arif Handono