MALANG, iNewsMalang.id – “Sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, presiden pertama negara baru itu, Soekarno, dikabarkan berziarah tiga kali ke Pamuksan Sri Aji Jayabaya,” tulis George Quinn dalam buku Wali Berandal Tanah Jawa. Sri Aji Jayabaya yang memerintah Kerajaan Panjalu selama 24 tahun (1135-1159) tersohor sebagai raja adil dan bijaksana. Di tangan Jayabaya hukum benar-benar ditegakkan.
Pamuksan Sri Aji Jayabaya atau Joyoboyo di Desa Mamenang atau Menang, Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri, diyakini sebagian orang sebagai tempat keramat. Di tempat Raja Jayabaya dipercaya tidak meninggal dunia melainkan moksa tersebut, banyak orang datang untuk ngalab berkah, termasuk Soekarno atau Bung Karno. Di masa bangsa Indonesia masih terjajah, Bung Karno dikabarkan pernah secara khusus mengunjungi Kediri. Konon dalam rangka ngalab berkah, Bung Karno menziarahi petilasan raja Jayabaya
Dalam Prahara Bumi Jawa Sejarah Bencana dan Jatuh Bangunnya Penguasa Jawa, Otto Sukatno CR menuliskan, saat itu tidak ada orang yang dikurung sehingga penjara tidak diperlukan. Yang berlaku saat itu hanya hukuman denda. Mereka yang dinyatakan bersalah harus membayar denda dengan besaran yang ditentukan. “Sementara bagi pencuri, perampok dan penyamun, dan tindak-tindak kejahatan besar lainnya, langsung mendapat hukuman mati".
Di masa Jayabaya, Kerajaan Panjalu atau Kadiri atau Kediri dengan ibukota Dahanapura atau Daha, mencapai masa keemasannya. Jayabaya merupakan keturunan Raja Airlangga (1019-1042). Dia merupakan raja ketiga Panjalu setelah Airlangga membelah Kerajaan Kahuripan menjadi Kerajaan Panjalu dan Jenggala.
Dengan kekuatan dan kebijakannya, Jayabaya berhasil menyatukan Panjalu dan Jenggala yang bertahun-tahun berseteru dalam perang saudara. Jayabaya juga termasyhur dengan ramalannya yang dikenal bernama Jangka Jayabaya. Ramalan itu disusun dalam bentuk tembang (macapat) dan gancaran (prosa) serta aforisma-aforisma singkat dan padat sehingga mudah dihafalkan.
Di dalam ramalan Jayabaya, Pulau Jawa terbagi atas tiga jaman besar. Yakni jaman Kali Swara atau jaman permulaan yang lamanya 700 tahun matahari atau 721 berdasarkan hitungan tahun bulan. Kemudian jaman Kaliyoga atau jaman pertengahan yang lamanya juga 700 tahun dan jaman Kali Sangsara atau jaman akhir yang lamanya juga 700 tahun terhitung sejak 1401 hingga 2100. Peneliti asing George Quinn dalam Wali Berandal Tanah Jawa menuliskan, dalam Jangka Jayabaya terdapat dua bait ikonik yang dianggap menjadi bukti bahwa Raja Jayabaya dapat meramalkan masa depan. “Tersembunyi dalam kedua bait itu, Soekarno pun tampil sekilas,” tulisnya.
Teks ramalan yang terkait Soekarno diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berbunyi: Lalu Garuda Ngwangga akan berkuasa. Ibunya putri dari Bali. Dia akan berkuasa di tanah Jawa, bala tentaranya setan dan demit. Garuda ditafsirkan sebagai burung garuda, lambang negara Republik Indonesia. Kemudian Ngwangga dianggap merujuk kepada Soekarno. Ngwangga merupakan nama lain dari Adipati Karna, tokoh pewayangan saudara Pandawa satu ibu beda ayah. Seperti diketahui, penggantian nama Kusno menjadi Soekarno karena ayah Bung Karno terpikat dengan ketokohan Adipati Karna atau Karno. Penggantian nama itu berlangsung di Ndalem Pojok, Desa Pojok, Kecamatan Wates Kabupaten Kediri, saat Soekarno kecil sakit-sakitan.
Sementara sesuai teks ramalan, ibu Bung Karno juga berasal dari Bali. “Tentara setan dan dedemit mengacu pada tentara gerilyawan rakyat jelata Indonesia yang mengobarkan perjuangan sengit dan sukses untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945 dan 1949,” tulis George Quinn. Entah karena terpengaruh ramalan itu atau tidak, sebelum memproklamasikan kemerdekaan RI, Bung Karno dikabarkan menziarahi Pamuksan Sri Aji Jayabaya Kediri. Bahkan ziarah itu dilakukan sebanyak tiga kali. Menurut saksi mata saat itu, kunjungan terakhir Soekarno dilakukan hanya beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan. “Aku datang ke sini untuk minta restu Raja Jayabaya,” konon demikian Soekarno menjelaskan kepada rombongannya. “Aku ingin kalian semua membantuku,” ujarnya.
Di situs Pamuksan Jayabaya, Bung Karno berdiam diri selama tujuh menit. Sebelum beranjak, founding father bangsa Indonesia itu kemudian berkata: ”Sudah direstui. Sekarang kita bisa pergi,” demikian dikutip dari Wali Berandal Tanah Jawa. Entah kebetulan atau memang Jangka Jayabaya memperlihatkan kebenarannya. Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, Soekarno dan Mohammad Hatta kemudian memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sejak itu Bung Karno adalah Presiden Pertama Republik Indonesia.
Editor : Arif Handono