Perang Rusia-Ukraina dikhawatirkan memicu krisis energi dengan skala seperti krisis minyak besar tahun 1970-an. Krisis itu disebut bisa terjadi jika pasokan minyak di pasar global menipis akibat tersendatnya ekspor minyak mentah Rusia.
Kendati komoditas energi Rusia sejauh ini belum dikenai sanksi oleh Amerika serikat (AS) dan sekutunya, pasokan minyak Rusia mulai tersendat di pasar. Penyebabnya adalah sanksi keuangan yang telah lebih dulu diterapkan bagi negara tersebut. Rusia tercatat mengekspor sekitar 7,5 juta barel per hari minyak dan produk olahan.
"Ini akan menjadi gangguan yang sangat besar dalam hal logistik, dan orang-orang akan berebut (pasokan minyak)," kata Vice Chairman IHS Markit Daniel Yergin mengatakan. "Ini adalah krisis pasokan, krisis logistik. Ini adalah krisis pembayaran, dan ini bisa terjadi (seperti) pada skala (krisis minyak) tahun 1970-an," ungkapnya seperti dilansir CNBC, Jumat (4/3/2022).
Menurut dia, komunikasi yang kuat antara pemerintah yang memberlakukan sanksi dan industri dapat mencegah skenario terburuk. "Pemerintah perlu memberikan kejelasan," kata Yergin. Yergin mencatat bahwa anggota NATO menerima sekitar setengah dari ekspor Rusia. "Beberapa bagian dari itu akan terganggu," tegasnya.
Yergin mengatakan ada sanksi "de facto" yang membatasi masuknya minyak Rusia ke pasar, meski komoditas energi tidak secara khusus dikenai sanksi. Hal itu terjadi karena pembeli mewaspadai minyak Rusia karena penolakan dari bank, pelabuhan, dan perusahaan pelayaran yang tidak ingin melanggar sanksi.
JPMorgan memperkirakan bahwa 66% minyak Rusia kini berjuang untuk menemukan pembeli, dan bahwa harga minyak mentah bisa mencapai USD185 per barel pada akhir tahun jika pasokan minyak Rusia tetap terganggu. "Ini bisa menjadi krisis terburuk sejak embargo minyak Arab dan revolusi Iran pada 1970-an," kata Yergin.
Kedua peristiwa tersebut merupakan guncangan minyak utama dalam dekade itu, di mana pada tahun 1973 produsen minyak Timur Tengah memutus pasokan ke AS dan negara-negara Barat lainnya sebagai pembalasan karena membantu Israel selama perang Arab-Israel. Pasar segera kekurangan pasokan, dan orang Amerika mengantre di pompa bensin untuk membeli bensin yang harganya meroket. Guncangan lainnya adalah akibat dari revolusi Iran 1978-1979, yang berujung pada penggulingan Syah Iran.
Yergin mengatakan, gangguan pasokan akan mulai terasa ketika pasar sudah mulai mengalami pengetatan. Hal ini terjadi ketika OPEC+, aliansi antara OPEC, Rusia dan sejumlah negara lainnya, baru mulai mengembalikan produksi sekitar 400.000 barel per hari ke pasar setiap bulan sampai mereka mencapai target pada bulan Juni.
Hal lain yang akan menambah derita negara konsumen energi Rusia adalah lonjakan harga gas alam. Eropa tercatat adalah pelanggan terbesar untuk minyak dan gas Rusia.
Harga minyak sudah naik saat Rusia mengirimkan tanknya ke Ukraina pekan lalu. Brent sempat diperdagangkan di atas USD116 per barel sebelum mundur di tengah spekulasi bahwa Iran dapat mencapai kesepakatan untuk memasuki kembali kesepakatan nuklirnya yang akan membawa 1 juta barel minyak Iran kembali ke pasar.
Analis industri mengatakan sulit untuk mengatakan berapa banyak pasokan minyak Rusia akan terpengaruh. "Saya pikir Anda berbicara tentang kehilangan 2 hingga 3 juta barel per hari," kata John Kilduff, mitra di Again Capital.
Bank of America memperkirakan bahwa untuk setiap juta barel yang hilang dari pasar, harga Brent bisa naik USD20 per barel. "Kali ini kami memotong (pasokan) minyak sendiri. Ini adalah embargo yang ditimbulkan sendiri. Kali ini pemogokan pembeli, bukan pemasok yang bertindak. Jika Anda tidak dapat membiayainya dan Anda tidak dapat membayarnya, tidak mungkin Rusia akan menjualnya," kata dia. iNews Malang
Editor : Arif Handono