get app
inews
Aa Read Next : Ade Armando Babak Belur Dihajar Massa, Kapolda: Pelaku Bukan Kelompok Mahasiswa

Sosok KH Mahrus Aly Lirboyo, Kirim Santri Syafii Sulaiman Menyusup dan Lucuti Senjata Jepang

Senin, 21 Maret 2022 | 08:25 WIB
header img
Ulama kharismatik pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri salah satunya adalah KH Mahrus Aly. Foto/Ist.

" Kemerdekaan ini harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan," tegas KH. Mahrus Aly, saat mendengar kabar dari Mayor Mahfudh tentang pendaratan pasukan Belanda di Surabaya, dengan membonceng pasukan sekutu di penghujung tahun 1945.

Belanda rupanya tak ingin melepaskan begitu saja Indonesia, yang telah dijajahnya sejak berabad-abad silam. Saat itu, Mayor Mahfudh juga mengabarkan, tertang terjadi pertempuran sengit antara Arek-arek Surabaya, melawan tentara Sekutu di seputar Tanjung Perak.

Kiai yang memiliki nama kecil Rusydi tersebut, langsung menegaskan santri-santri di Lirboyo, siap membantu Arek-arek Surabaya melawan Sekutu. Jauh sebelumnya, Kiai Mahrus Ali telah mempersiapkan diri menghadapi pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan.

Bersenjatakan bambu runcing dan sejata tradisional lainnya, sebanyak 97 santri diberangkatkan ke Surabaya, untuk menghadapi pasukan sekutu yang baru saja memenangkan perang dunia dua, dan bersenjatakan senapan-senapan modern. Di bawah komando langsung Kiai Mahrus Aly, para santri Lirboyo ini tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Bermodal keberanian dan semangat mempertahankan kemerdekaan Indonesia, para santri berhasil merampas sejumlah senjata lawan. Aksi perampasan senjata yang dilakukan para santri di bawah komando KH Mahrus Aly, terjadi jauh sebelum pecah perang besar di Surabaya. Mereka sepakat melucuti senjata pasukan Jepang, di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri, yang kini menjadi Markas Brigif 16 Kodam V Brawijaya, letaknya sekitar 1,5 Km dari arah timur Pondok Pesantren Lirboyo.

Menggunakan peralatan seadanya, ratusan santri mengadakan pernyerbuan ke Markas Kompitai Dai Nipon di bawah komando KH Mahrus Aly, Mayor Mahfudh, dan Abdul Rakhim Pratalikrama. Santri muda, Syafii Sulaiman yang kala itu masih berusia 15 tahun, diutus oleh Kiai Mahrus Aly untuk menyusup ke markas Dai Nippon, guna mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa cukup, Syafii Sulaiman segera melapor kepada Kiai Mahrus Aly, dan Mayor Mahfudh. Invasi para santri itu berhasil. Atas kebijaksanaan Kiai Mahrus Aly, satu truk senjata hasil lucutan Jepang itu, dibawa ke Pondok Pesantren Lirboyo, dan setelahnya diserahkan kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Bermodalkan senjata rampasan, para santri Lirboyo, di bawah komando Kiai Mahrus Aly, secara bergantian dikirim ke front pertempuran Surabaya. Pengiriman pasukan yang beranggotakan para santri ini, terus berlanjut hingga pecah perang 10 November 1945.

Bukan sekedar mengirimkan pasukan ke medan laga, Kiai Mahrus Aly bersama para santri Lirboyo, juga melakukan gerakan batin yang digelar setiap malam, agar pasukan yang tengah bertempur diberi keteguhan iman, dan apabila gugur diterima sebagai syahid. Gerakan batin ini digelar di dua tempat, yakni di Pondok Pesantren Lirboyo, dipimpin oleh KH Abdul Karim dan KH Marzugi Dahlan. Lokasi gerakan batin kedua digelar di Manukan, Jabon, Kediri, yang dipimpin oleh KH Mahrus Aly, dan KH Said. Usai pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya, Kiai Mahrus Aly kembali mengerahkan pasukan yang beranggotakan para santri ke medan laga, untuk menghadapi Agresi Militer II yang dilakukan pasukan belanda, pada 12 Desember 1948.

Empat santri senior Lirboyo dikirim oleh Kiai Mahrus Aly untuk menjadi pasukan di bawah komando Mayor Mahfudh. Keempat santri itu adalah Syafi'i Sulaiman, Muhid Ilyas, Muhammad Masykur, dan Mahfudh AK. Taktik perang gerilya, dan melakukan serangan secara sporadis ke jantung pertahanan musuh yang dijalankan pasukan para santri ini, ternyata berjalan sangat efektif. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, melalui pertempuran berdarah tersebut, berlangsung hingga penyerahan kedaulatan Indonesia, oleh Belanda, melalui perjanjian yang dihasilkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Deen Hag, pada 27 Desember 1949. Pasukan perang yang terdiri dari para santri ini, akhirnya dilebur untuk semakin memiliki kekuatan dahsyat. Pasukan dilebur dalam Batalyon 508 yang lebih dikenal dengan Batalyon Gelatik. Batalyon ini merupakan ikal bakal lahirnya Kodam V Brawijaya. (iNews Malang )

 

Editor : Arif Handono

Follow Berita iNews Malang di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut